Sabtu, 28 Juni 2008

JENIS-JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

JENIS-JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

KOMPETENSI DASAR
1. Menjelaskan anggaran tradisional
2. Menjelaskan anggaran publik dengan pendekatan New Public Management (NPM).
3. Menjelaskan anggaran kinerja dan pendekatan Zero Bazed Budgeting
4. Menjelaskan anggaran publik dengan pendekatan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS)
A. PENDAHULUAN
Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multi-fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis pendekatan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

B. ANGGARAN TRADISIONAL
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang besifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.

Incrementalism
Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Pendekatan semacam ini tidak saja belum menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena kita tidak pernah tahu apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas susulan ini semata-mata dimaksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal tersebut tidak dilakukan akan berdampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan output yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki (outcome).
Anggaran tradisional yang bersifat “incrementalism” cenderung menerima konsep harga pokok pelayanan historis (historic cost of service) tanpa memperhatikan pertanyaan seperti:
1. Apakah pelayanan tertentu yang dibiayai dengan pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
2. Apakah pelayanan yang diberikan telah terdistribusi secara adil dan merata di antara kelompok masyarakat?
3. Apakah pelayanan diberikan secara ekonomis dan efisien?
4. Apakah pelayanan yang diberikan mempengaruhi pola kebutuhan publik?

Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item, program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun sebenarnya item tersebut sudah tidak relevan dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan penyesuaian lainnya.

Line-item
Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak, atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.

Kelemahan Anggaran Tradisional
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumberdaya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

Beberapa kelemahan anggaran tradisional diatas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemehan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

C. ANGGARAN PUBLIK DENGAN PENDEKATAN NPM
Era New Public Management
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management.
Model New Public Management mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk inkarnasi, misalnya munculnya konsep “managerialism” (Pollit, 1993); “market-based public administration” (Lan, Zhiyong, and Rosenbloom, 1992); “post-bureaucratic paradigm” (Barzelay, 1992); dan “entrepreneurial government” (Osborne and Gaebler, 1992). New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:

1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik.
Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan bukan keharusan: pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah. Pada saat ini, banyak pelayanan publik yang dapat diproduksi oleh sektor swasta dan sektor ketiga (LSM). Bahkan, pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah dikelola oleh pihak non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan tanggung jawab masyarakat, tidak hanya kepolisian. Karenanya, kepolisian semestinya tidak hanya memperbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa kriminal, tetapi juga membantu warga untuk memecahkan masalah yang menyebabkan timbulnya tindak kriminal. Contoh lain: untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, berikanlah wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Misalnya pada pelayanan pos negara, akibat kompetisi yang semakin keras, pelayanan titipan kilat yang disediakan menjadi relatif semakin cepat daripada kualitasnya di masa lalu.

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.
Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah, unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru: semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh.
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah daerah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.
Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya harus disetujui oleh DPR/DPRD. Akibatnya, pemerintah seringkali menganggap bahwa DPR/DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan anggaran adalah pelanggannya. Bila DPR/DPRD dan para pejabat eksekutif tidak menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka hal ini tidak menyebabkan masalah. Tetapi bila mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat, akan cenderung dilupakan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat mereka seringkali menjadi arogan.
Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat .

7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.
Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya untuk menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyak yang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati.
Pemerintah tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik. Pemerintah birokratis cenderung bersifat reaktif: seperti suatu satuan pemadam kebakaran, apabila tidak ada kebakaran maka tidak akan ada upaya pemecahan. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi.

9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.
Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkhis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komandonya hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan bisnis. Pada saat itu, sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih relatif belum terdidik (masih sangat membutuhkan petunjuk langsung atas apa-apa yang harus dilaksanakan). Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/keinginan masyarakat dan bisnis sudah semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.

10. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).
Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme administratif, sedangkan pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar. Dalam mekanisme administratif, pemerintah tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Dalam mekanisme pasar, pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.

Munculnya konsep New Public Management berpengaruh langsung terhadap konsep anggaran publik. Salah satu pengaruhnya adalah terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran tradisional menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja. Berikut ini akan dibahas jenis-jenis anggaran dengan pendekatan New Public Management.


Tabel 4.1
Perbandingan Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM


ANGGARAN TRADISIONAL

NEW PUBLIC MANAGEMENT
1. Sentralistis 1. Desentralisasi & devolved management
2. Berorientasi pada input 2. Berorientasi pada input, output, dan outcome (value for money)
3. Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang 3. Utuh dan komprehensif dengan perencanaan jangka panjang
4. Line-item dan incrementalism 4. Berdasarkan sasaran kinerja
5. Batasan departemen yang kaku (rigid department) 5. Lintas departemen
(cross department)
6. Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting 6. Zero-Base Budgeting, Planning Programming Budgeting System
Prinsip anggaran bruto Sistematik dan rasional
Bersifat tahunan Bottom-up budgeting
Spesifik




D. PERUBAHAN PENDEKATAN ANGGARAN.
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut:
1. komprehensif/komparatif
2. terintegrasi dan lintas departemen
3. proses pengambilan keputusan yang rasional
4. berjangka panjang
5. spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6. analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
7. berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8. adanya pengawasan kinerja.




E. ANGGARAN KINERJA
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mengimplementasikan hal-hal tersebut anggaran kinerja dilengkapi dengan teknik penganggaran analitis.
Anggaran kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu, anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak pandangan anggaran tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan campur tangan, pemerintah akan menyalahgunakan kedudukan mereka dan cenderung boros (overspending). Menurut pendekatan anggaran kinerja, dominasi pemerintah akan dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain, pemerintah dipaksa bertindak berdasarkan cost minded dan harus efisien. Selain didorong untuk menggunakan dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya program dan tolok ukur sebagai standar kinerja.
Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

F. ZERO BASED BUDGETING (ZBB)
Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem anggara tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero Based Budgeting dapat menghilangkan incrementalism dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat incremental mendasarkan besarnya anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. ZBB tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun penentuan anggaran didasarkan pada kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan dibutuhkan dan tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur anggaran atau mungkin juga muncul item baru.



Proses Implementasi ZBB
Proses implementasi ZBB terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Identifikasi unit-unit keputusan
Struktur organisasi pada dasarnya terdiri dari pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility center). Setiap pusat pertanggungjawaban merupakan unit pembuat keputusan (decision unit) yang salah satu fungsinya adalah untuk menyiapkan anggaran. Zero Based Budgeting merupakan sistem anggaran yang berbasis pusat pertanggungjawaban sebagai dasar perencanaan dan pengendalian anggaran. Suatu unit keputusan merupakan kumpulan dari unit keputusan level yang lebih kecil. Sebagai contoh, pemerintah daerah merupakan suatu unit keputusan besar yang dapat dipecah-pecah lagi menjadi dinas-dinas; dinas-dinas dipecah lagi menjadi subdinas-subdinas; subdinas dipecah lagi menjadi subprogram, dan sebagainya. Dengan demikian, suatu pemerintah daerah bisa memiliki ribuan unit keputusan.
Setelah dilakukan identifikasi unit-unit keputusan secara tepat, tahap berikutnya adalah menyiapkan dokumen yang berisi tujuan unit keputusan dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dokumen tersebut disebut paket-paket keputusan (decision packages).

2. Penentuan paket-paket keputusan
Paket keputusan merupakan gambaran komprehensif mengenai bagian dari aktivitas organisasi atau fungsi yang dapat dievaluasi secara individual. Paket keputusan dibuat oleh manajer pusat pertanggungjawaban dan harus menunjukkan secara detail estimasi biaya dan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk pencapaian tugas dan perolehan manfaat. Secara teoritis, paket-paket keputusan dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif kegiatan untuk melaksanakan fungsi unit keputusan dan untuk menentukan perbedaan level usaha pada tiap-tiap alternatif. Terdapat dua jenis paket keputusan, yaitu:
a. Paket keputusan mutually-exclusive.
Paket keputusan yang bersifat mutually-exclusive adalah paket-paket keputusan yang memiliki fungsi yang sama. Apabila dipilih salah satu paket kegiatan atau program, maka konsekuensinya adalah menolak semua alternatif yang lain.
b. Paket keputusan incremental
Paket keputusan incremental merefleksikan tingkat usaha yang berbeda (dikaitkan dengan biaya) dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Terdapat base package yang menunjukkan tingkat minimal suatu kegiatan, dan paket lain yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi yang akan berpengaruh terhadap kenaikan level aktivitas dan juga akan berpengaruh terhadap biaya. Setiap paket memiliki biaya dan manfaat yang dapat ditabulasikan dengan jelas.

3. Meranking dan mengevaluasi paket keputusan
Jika paket keputusan telah disiapkan, tahap berikutnya adalah meranking semua paket berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi. Tahap ini merupakan jembatan untuk menuju proses alokasi sumber daya di antara berbagai kegiatan yang beberapa di antaranya sudah ada dan lainnya baru sama sekali.


Keunggulan ZBB
1. Jika ZBB dilaksanakan dengan baik maka dapat menghasilkan alokasi sumber daya secara lebih efisien.
2. ZBB berfokus pada value for money
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi terjadinya inefisiensi dan ketidakefektivan biaya
4. Meningkatkan pengetahuan dan motivasi staf dan manajer
5. Meningkatkan partisipasi manajemen level bawah dalam proses penyusunan anggaran
6. Merupakan cara yang sistematik untuk menggeser status quo dan mendorong organisasi untuk selalu menguji alternatif aktivitas dan pola perilaku biaya serta tingkat pengeluaran.

Kelemahan ZBB
1. Prosesnya memakan waktu lama (time consuming), terlalu teoritis dan tidak praktis, membutuhkan biaya yang besar, serta menghasilkan kertas kerja yang menumpuk karena pembuatan paket keputusan.
2. ZBB cenderung menekankan manfaat jangka pendek
3. Implementasi ZBB membutuhkan teknologi yang maju
4. Masalah besar yang dihadapi ZBB adalah pada proses meranking dan mereview paket keputusan. Mereview ribuan paket keputusan merupakan pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, sehingga dapat mempengaruhi keputusan.
5. Untuk melakukan perankingan paket keputusan dibutuhkan staf yang memiliki keahlian yang mungkin tidak dimiliki organisasi. ZBB berasumsi bahwa semua staf memiliki kemampuan untuk mengkalkulasi paket keputusan. Selain itu dalam perankingan muncul pertimbangan subyektif atau mungkin terdapat tekanan politik sehingga tidak obyektif lagi.
6. Memungkinkan munculnya kesan yang keliru bahwa semua paket keputusan harus masuk dalam anggaran.
7. Implementasi ZBB menimbulkan masalah keperilakuan dalam organisasi

G. PLANNING, PROGRAMMING, AND BUDGETING SYSTEM (PPBS)
PPBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori sistem yang berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumber daya berdasarkan analisis ekonomi. Sistem anggaran PPBS tidak mendasarkan pada struktur organisasi tradisional yang terdiri dari divisi-divisi, namun berdasarkan program, yaitu pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. PPBS adalah salah satu model penganggaran yang ditujukan untuk membantu manajemen pemerintah dalam membuat keputusan alokasi sumber daya secara lebih baik. Hal tersebut disebabkan sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas jumlahnya, sementara tuntutan masyarakat tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaaan tersebut pemerintah dihadapkan pada pilihan alternatif keputusan yang memberikan manfaat paling besar dalam pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan rerangka untuk membuat pilihan tersebut.


Proses Implementasi PPBS
Langkah-langkah implementasi PPBS meliputi:
1. Menentukan tujuan umum organisasi dan tujuan unit organisasi dengan jelas
2. Mengidentifikasi program-program dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
3. Mengevaluasi berbagai alternatif program dengan menghitung cost-benefit dari masing-masing program.
4. Pemilihan program yang memiliki manfaat besar dengan biaya yang kecil
5. Alokasi sumber daya ke masing-masing program yang disetujui.
PPBS mensyaratkan organisasi menyusun rencana jangka panjang untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui program-program. Kuncinya adalah bahwa program-program yang disusun harus terkait dengan tujuan organisasi dan tersebar ke seluruh bagian organisasi. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi struktur program dan melakukan analisis program. Struktur program merupakan rerangka untuk mengidentifikasi keterkaitan antara sumber daya yang dimiliki dengan aktivitas yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi, struktur program merupakan semacam kerangka bangunan dari desain sistem PPBS. Analisis program terkait dengan kegiatan menganalisis biaya dan manfaat dari masing-masing program sehingga dapat dilakukan pilihan. Untuk mendukung hal tersebut PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih agar dapat memonitor kemajuan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sistem pelaporan anggaran PPBS harus mampu melaporkan hasil (manfaat) program bukan sekedar jumlah pengeluaran yang telah dilakukan.

Karakteristik PPBS:
1. Berfokus pada tujuan dan aktivitas (program) untuk mencapai tujuan
2. Secara eksplisit menjelaskan implikasi terhadap tahun anggaran yang akan datang karena PPBS berorientasi pada masa depan
3. Mempertimbangkan semua biaya yang terjadi
4. Dilakukan analisis secara sistematik atas berbagai alternatif program, yang meliputi: (a) identifikasi tujuan, (b) identifikasi secara sistematik alternatif program untuk mencapai tujuan, (c) estimasi biaya total dari masing-masing alternatif program, dan (d) estimasi manfaat (hasil) yang ingin diperoleh dari masing-masing alternatif program.

Kelebihan PPBS
1. Memudahkan dalam pendelegasian tanggung jawab dari manajemen puncak ke manajemen menengah.
2. Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja
3. Memperbaiki kualitas pelayanan melalui pendekatan sadar biaya (cost-consciousness/cost awareness) dalam perencanaan program
4. Lintas departemen sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama antardepartemen
5. Menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian tujuan organisasi
6. PPBS menggunakan teori marginal utility, sehingga mendorong alokasi sumber daya secara optimal


Kelemahan PPBS
1. PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya sistem pengukuran, dan staf yang memiliki kapabilitas tinggi
2. Implementasi PPBS membutuhkan biaya yang besar karena PPBS membutuhkan teknologi yang canggih
3. PPBS bagus secara teori, namun sulit untuk diimplementasikan
4. PPBS mengabaikan realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia yang kompleks
5. PPBS merupakan teknik anggaran yang statistically oriented. Penggunaan statistik terkadang kurang tajam untuk mengukur efektivitas program. Statististik hanya tepat untuk mengukur beberapa program tertentu saja.
6. Pengaplikasian PPBS menghadapi masalah teknis. Hal ini terkait dengan sifat progam atau kegiatan yang lintas departemen sehingga menyulitkan dalam melakukan alokasi biaya. Sementara itu sistem akuntansi dibuat berdasarkan departemen bukan program.


Masalah utama penggunaan ZBB dan PPBS
1. Bounded rationality, keterbatasan dalam menganalisis semua alternatif untuk melakukan aktivitas.
2. Kurangnya data untuk membandingkan semua alternatif, terutama untuk mengukur output.
3. Masalah ketidakpastian sumber daya, pola kebutuhan di masa depan, perubahan politik, dan ekonomi.
4. Pelaksanaan teknik tersebut menimbulkan beban pekerjaan yang sangat berat.
5. Kesulitan dalam menentukan tujuan dan perankingan program terutama ketika terdapat pertentangan kepentingan (conflict of interest).
6. Seringkali tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan program secara cepat dan tepat.
7. Terdapat hambatan birokrasi dan perlawanan politik yang besar untuk berubah (resistence to change).
8. Pelaksanaan teknik tersebut sering tidak sesuai dengan proses pengambilan keputusan politik. Politik berusaha membuat pelaksanaan lebih “technocratic” yang hal tersebut bisa mempengaruhi proses anggaran.
9. Pada akhirnya, pemerintah beroperasi dalam dunia yang tidak rasional.









Perbandingan anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS


Karakteristik
Anggaran Kinerja ZBB PPBS

1. Organisasi Unit kerja (agency) Unit keputusan Fungsional

2. Aspek klasifikasi Fungsi, program, dan elemen pengeluaran membentuk bagian yang integral dengan struktur anggaran Paket keputusan dan gabungan paket keputusan bersifat fleksibel dan independen dari struktur anggaran Fungsi dan program independen dengan struktur anggaran

3. Aspek analitis Menekankan hasil kinerja Menekankan pada hubungan keuangan dengan peningkatan kinerja dan perankingan paket keputusan Penerapan teknik kuantitatif dan pengevaluasian alternatif keputusan

4. Anggaran dan perencanaan Terpisah Terintegrasi Terintegrasi dalam satu siklus anggaran

5. Jangka waktu Tahunan Proyeksi lima tahunan Proyeksi lima tahunan

6. Aspek evaluasi Ukuran kinerja kuantitatif Menekankan pada kinerja dan pengukuran kinerja Menekankan pada sistem informasi

7. Manfaat yang diharapkan Peningkatan kinerja dan kesadaran biaya (cost consciousness) yang lebih tinggi Pelibatan yang lebih besar dari manajer bawah dalam proses anggaran dan pengukuran kinerja
Efisiensi alokasi anggaran







Contoh Anggaran Tradisional (Incremental/Line-Item Budget)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kab…
Tahun Anggaran 2005

No. Uraian Penerimaan APBD
2005 APBD
2004 No. Uraian Belanja APBD
2005 APBD
2004

A Sisa Lebih Perhitungan APBD Tahun Yg. Lalu A RUTIN
1. Belanja pegawai
B Pendapatan Asli Daerah 2. Belanja barang
1. Pajak Daerah 3. Belanja pemeliharan
2. Retribusi Daerah 4. Belanja perjalanan
3. Bagian Laba BUMD 5. Belanja lain-lain
4. Penerimaan Dinas-Dinas 6. Angsuran pinjaman/hutang dan bunga
5. Penerimaan Lain-lain 7. Belanja pensiun
8. Ganjaran, Subsidi, dan Sumbangan
C Pendapatan Berasal dari Pemberian Pemerintah dan/atau Inst. Lebih Tinggi 9. Pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain
1. Bagi Hasil Pajak 10. Pengeluaran yang tidak tersangka
2. Bagi Hasil Bukan Pajak
3. Dana Rutin Daerah B PEMBANGUNAN
4. Dana Pembangunan Daerah 1. Industri
5. Penerimaan Lainnya 2. Pertanian & Kehutanan
3. Sumber Daya Air & Irigasi
D Pendapatan Pembangunan 4. Tenaga Kerja
1. Pinjaman Pemda 5. Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi
2. Pinjaman BUMD 6. Transportasi
7. Pertambangan & Energi
………..
21. Bantuan Pemb. Daerah Bawahan





Contoh anggaran PPBS
Program Multitahunan dan Perencanaan Keuangan
Dari Tahun Anggaran 2002-2006 (dalam 000.000 rupiah)

Level Kategori Program TA 2000
aktual TA 2001
Anggaran berjalan TA 2002
Estimasi anggaran TA 2003
Estimasi program
…… TA 2006
Estimasi program Biaya Total
2002-6
1 2

I Keselamatan Masyarakat
A Penegakan hukum
B Pengendalian dan pencegahan kebakaran
C Keselamatan berlalu lintas
D Perlindungan dan pengendalian bencana
E dsb…
Total Program Area I

II Kesehatan
A Kesehatan fisik
B Kesehatan Mental
C Pencegahan dan pengendalian NAPZA
D Pencegahan penyakit menular
E dsb…
Total Program Area II

III Perawatan penduduk usia lanjut
A Perawatan rumah tinggal
B Perawatan harian
C Pemberian menu makanan sehat
D dsb…
Total Program Area III

Level 1: Jenis Program
Level 2: Kategori program







Contoh
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
DENGAN PENDEKATAN KINERJA
PROPINSI/KABUPATEN/KOTA

I PENDAPATAN Rp

1 Pendapatan Asli Daerah Rp
- Pajak Daerah Rp
- Retribusi Daerah Rp
- Bagian Laba dari BUMD Rp
- Bagian Laba dari Pengelolaan Kekayaan Rp
Daerah Yang Dipisahkan
- Lain-lain PAD Yang Sah Rp

2 Dana Perimbangan Rp
- Bagian Daerah Rp
- Dana Alokasi Umum Rp
- Dana Alokasi Khusus Rp

3 Lain-lain Pendapatan Yang Sah Rp

II BELANJA Rp

1 Belanja Administrasi Umum Rp
- Belanja Pegawai Rp
- Belanja Barang Rp
- Belanja Perjalanan Dinas Rp
- Belanja Pemeliharaan Rp
- Belanja Lain-lain Rp

2 Belanja Operasi, Pemeliharaan Rp
Sarana dan Prasarana Umum

3 Belanja Modal Rp
- Belanja Aparatur Rp
- Belanja Publik Rp

4 Belanja Transfer Rp

5 Belanja Tidak Terduga Rp

III SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (I - II) Rp

IV PEMBIAYAAN Rp

1 Sumber Penerimaan Daerah Rp
- Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu Rp
- Penerimaan Pinjaman dan Obligasi Rp
- Transfer dari Dana Cadangan Rp
- Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Dipisahkan Rp

2 Sumber Pengeluaran Daerah Rp
- Pembayaran Utang Pokok Yang Jatuh Tempo Rp
- Transfer ke Dana Cadangan Rp
- Penyertaan Modal Rp
- Sisa Lebih Anggaran Tahun Sekarang Rp

H. RANGKUMAN
Terdapat dua pendekatan dalam menyususn anggaran sektor publik, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan New Public Management. Anggaran tradisional memiliki ciri utama line-item dan incrementalism. Pendekatan NPM dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem tradisional. Anggaran dengan pendekatan NPM terdiri dari beberapa jenis, yaitu anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS. Anggaran dengan pendekatan NPM sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Perubahan dari sistem anggaran tradisional menuju sistem anggaran dengan pendekatan NPM merupakan bagian penting dari reformasi anggaran (budgeting reform). Reformasi anggaran sektor publik dilakukan untuk menjadikan anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik dan menekankan value for money. Beberapa jenis anggaran dengan pendekatan NPM, seperti ZBB, PPBS, dan Anggaran Kinerja perlu dikaji lebih mendalam sebelum diaplikasikan, karena pada masing-masing jenis anggaran tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Penerapan sistem anggaran juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan kesiapan teknologi yang dimiliki oleh pemerintah.

I. PERTANYAAN
1. Jelaskan latar belakang munculnya konsep New Public Management. Bahaslah pengaruh konsep tersebut terhadap reformasi anggaran sektor publik.
2. Bahaslah secara kritis konsep reinventing government. Apa kelebihan dan kelemahan konsep teresebut?
3. Berikan evaluasi Saudara tentang konsep anggaran ZBB, PPBS, dan Performance Budget. Bandingkan sistem anggaran yang digunakan oleh negara-negara di kawasan ASEAN dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika.
4. Untuk kasus di Indonesia, diskusikan apakah sistem anggaran sebaiknya dilakukan dengan cara memperbesar jumlah anggaran (budget maximizing) ataukah dengan cara memperbesar aparat pelaksana anggaran (labor/staff maximizing).



KOMPETENSI UMUM
Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa dapat memahami jenis-jenis anggaran sektor publik

KOMPETENSI DASAR
1. Menjelaskan anggaran tradisional
2. Menjelaskan anggaran publik dengan pendekatan New Public Management (NPM).
3. Menjelaskan anggaran kinerja dan pendekatan Zero Bazed Budgeting
4. Menjelaskan anggaran publik dengan pendekatan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS)
A. PENDAHULUAN
Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multi-fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tercermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa jenis pendekatan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.

B. ANGGARAN TRADISIONAL
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang besifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.

Incrementalism
Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yang terpusat. Anggaran tradisional bersifat incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Pendekatan semacam ini tidak saja belum menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena kita tidak pernah tahu apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas susulan ini semata-mata dimaksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal tersebut tidak dilakukan akan berdampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan output yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki (outcome).
Anggaran tradisional yang bersifat “incrementalism” cenderung menerima konsep harga pokok pelayanan historis (historic cost of service) tanpa memperhatikan pertanyaan seperti:
1. Apakah pelayanan tertentu yang dibiayai dengan pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
2. Apakah pelayanan yang diberikan telah terdistribusi secara adil dan merata di antara kelompok masyarakat?
3. Apakah pelayanan diberikan secara ekonomis dan efisien?
4. Apakah pelayanan yang diberikan mempengaruhi pola kebutuhan publik?

Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item, program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun sebenarnya item tersebut sudah tidak relevan dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan penyesuaian lainnya.

Line-item
Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak, atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.

Kelemahan Anggaran Tradisional
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumberdaya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

Beberapa kelemahan anggaran tradisional diatas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemehan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

C. ANGGARAN PUBLIK DENGAN PENDEKATAN NPM
Era New Public Management
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam manajemen sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management.
Model New Public Management mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk inkarnasi, misalnya munculnya konsep “managerialism” (Pollit, 1993); “market-based public administration” (Lan, Zhiyong, and Rosenbloom, 1992); “post-bureaucratic paradigm” (Barzelay, 1992); dan “entrepreneurial government” (Osborne and Gaebler, 1992). New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:

1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik.
Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaiknya pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan bukan keharusan: pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah. Pada saat ini, banyak pelayanan publik yang dapat diproduksi oleh sektor swasta dan sektor ketiga (LSM). Bahkan, pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah dikelola oleh pihak non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan tanggung jawab masyarakat, tidak hanya kepolisian. Karenanya, kepolisian semestinya tidak hanya memperbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa kriminal, tetapi juga membantu warga untuk memecahkan masalah yang menyebabkan timbulnya tindak kriminal. Contoh lain: untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, berikanlah wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Misalnya pada pelayanan pos negara, akibat kompetisi yang semakin keras, pelayanan titipan kilat yang disediakan menjadi relatif semakin cepat daripada kualitasnya di masa lalu.

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil: membiayai hasil bukan masukan.
Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah, unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru: semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh.
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah daerah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.
Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaatannya harus disetujui oleh DPR/DPRD. Akibatnya, pemerintah seringkali menganggap bahwa DPR/DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan anggaran adalah pelanggannya. Bila DPR/DPRD dan para pejabat eksekutif tidak menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka hal ini tidak menyebabkan masalah. Tetapi bila mereka menomorsatukan kepentingan kelompoknya, maka pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat, akan cenderung dilupakan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat mereka seringkali menjadi arogan.
Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat .

7. Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.
Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya untuk menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyak yang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati.
Pemerintah tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik. Pemerintah birokratis cenderung bersifat reaktif: seperti suatu satuan pemadam kebakaran, apabila tidak ada kebakaran maka tidak akan ada upaya pemecahan. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi.

9. Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.
Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkhis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komandonya hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan bisnis. Pada saat itu, sistem tersebut sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih relatif belum terdidik (masih sangat membutuhkan petunjuk langsung atas apa-apa yang harus dilaksanakan). Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/keinginan masyarakat dan bisnis sudah semakin kompleks, dan staf pemerintah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.

10. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan).
Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme administratif, sedangkan pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar. Dalam mekanisme administratif, pemerintah tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Dalam mekanisme pasar, pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.

Munculnya konsep New Public Management berpengaruh langsung terhadap konsep anggaran publik. Salah satu pengaruhnya adalah terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran tradisional menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja. Berikut ini akan dibahas jenis-jenis anggaran dengan pendekatan New Public Management.


Tabel 4.1
Perbandingan Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM


ANGGARAN TRADISIONAL

NEW PUBLIC MANAGEMENT
1. Sentralistis 1. Desentralisasi & devolved management
2. Berorientasi pada input 2. Berorientasi pada input, output, dan outcome (value for money)
3. Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang 3. Utuh dan komprehensif dengan perencanaan jangka panjang
4. Line-item dan incrementalism 4. Berdasarkan sasaran kinerja
5. Batasan departemen yang kaku (rigid department) 5. Lintas departemen
(cross department)
6. Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting 6. Zero-Base Budgeting, Planning Programming Budgeting System
Prinsip anggaran bruto Sistematik dan rasional
Bersifat tahunan Bottom-up budgeting
Spesifik




D. PERUBAHAN PENDEKATAN ANGGARAN.
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut:
1. komprehensif/komparatif
2. terintegrasi dan lintas departemen
3. proses pengambilan keputusan yang rasional
4. berjangka panjang
5. spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6. analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
7. berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8. adanya pengawasan kinerja.




E. ANGGARAN KINERJA
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mengimplementasikan hal-hal tersebut anggaran kinerja dilengkapi dengan teknik penganggaran analitis.
Anggaran kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu, anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak pandangan anggaran tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan campur tangan, pemerintah akan menyalahgunakan kedudukan mereka dan cenderung boros (overspending). Menurut pendekatan anggaran kinerja, dominasi pemerintah akan dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain, pemerintah dipaksa bertindak berdasarkan cost minded dan harus efisien. Selain didorong untuk menggunakan dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya program dan tolok ukur sebagai standar kinerja.
Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Penerapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

F. ZERO BASED BUDGETING (ZBB)
Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem anggara tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero Based Budgeting dapat menghilangkan incrementalism dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat incremental mendasarkan besarnya anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. ZBB tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun penentuan anggaran didasarkan pada kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan dibutuhkan dan tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur anggaran atau mungkin juga muncul item baru.



Proses Implementasi ZBB
Proses implementasi ZBB terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Identifikasi unit-unit keputusan
Struktur organisasi pada dasarnya terdiri dari pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility center). Setiap pusat pertanggungjawaban merupakan unit pembuat keputusan (decision unit) yang salah satu fungsinya adalah untuk menyiapkan anggaran. Zero Based Budgeting merupakan sistem anggaran yang berbasis pusat pertanggungjawaban sebagai dasar perencanaan dan pengendalian anggaran. Suatu unit keputusan merupakan kumpulan dari unit keputusan level yang lebih kecil. Sebagai contoh, pemerintah daerah merupakan suatu unit keputusan besar yang dapat dipecah-pecah lagi menjadi dinas-dinas; dinas-dinas dipecah lagi menjadi subdinas-subdinas; subdinas dipecah lagi menjadi subprogram, dan sebagainya. Dengan demikian, suatu pemerintah daerah bisa memiliki ribuan unit keputusan.
Setelah dilakukan identifikasi unit-unit keputusan secara tepat, tahap berikutnya adalah menyiapkan dokumen yang berisi tujuan unit keputusan dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dokumen tersebut disebut paket-paket keputusan (decision packages).

2. Penentuan paket-paket keputusan
Paket keputusan merupakan gambaran komprehensif mengenai bagian dari aktivitas organisasi atau fungsi yang dapat dievaluasi secara individual. Paket keputusan dibuat oleh manajer pusat pertanggungjawaban dan harus menunjukkan secara detail estimasi biaya dan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk pencapaian tugas dan perolehan manfaat. Secara teoritis, paket-paket keputusan dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai alternatif kegiatan untuk melaksanakan fungsi unit keputusan dan untuk menentukan perbedaan level usaha pada tiap-tiap alternatif. Terdapat dua jenis paket keputusan, yaitu:
a. Paket keputusan mutually-exclusive.
Paket keputusan yang bersifat mutually-exclusive adalah paket-paket keputusan yang memiliki fungsi yang sama. Apabila dipilih salah satu paket kegiatan atau program, maka konsekuensinya adalah menolak semua alternatif yang lain.
b. Paket keputusan incremental
Paket keputusan incremental merefleksikan tingkat usaha yang berbeda (dikaitkan dengan biaya) dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Terdapat base package yang menunjukkan tingkat minimal suatu kegiatan, dan paket lain yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi yang akan berpengaruh terhadap kenaikan level aktivitas dan juga akan berpengaruh terhadap biaya. Setiap paket memiliki biaya dan manfaat yang dapat ditabulasikan dengan jelas.

3. Meranking dan mengevaluasi paket keputusan
Jika paket keputusan telah disiapkan, tahap berikutnya adalah meranking semua paket berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi. Tahap ini merupakan jembatan untuk menuju proses alokasi sumber daya di antara berbagai kegiatan yang beberapa di antaranya sudah ada dan lainnya baru sama sekali.


Keunggulan ZBB
1. Jika ZBB dilaksanakan dengan baik maka dapat menghasilkan alokasi sumber daya secara lebih efisien.
2. ZBB berfokus pada value for money
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi terjadinya inefisiensi dan ketidakefektivan biaya
4. Meningkatkan pengetahuan dan motivasi staf dan manajer
5. Meningkatkan partisipasi manajemen level bawah dalam proses penyusunan anggaran
6. Merupakan cara yang sistematik untuk menggeser status quo dan mendorong organisasi untuk selalu menguji alternatif aktivitas dan pola perilaku biaya serta tingkat pengeluaran.

Kelemahan ZBB
1. Prosesnya memakan waktu lama (time consuming), terlalu teoritis dan tidak praktis, membutuhkan biaya yang besar, serta menghasilkan kertas kerja yang menumpuk karena pembuatan paket keputusan.
2. ZBB cenderung menekankan manfaat jangka pendek
3. Implementasi ZBB membutuhkan teknologi yang maju
4. Masalah besar yang dihadapi ZBB adalah pada proses meranking dan mereview paket keputusan. Mereview ribuan paket keputusan merupakan pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, sehingga dapat mempengaruhi keputusan.
5. Untuk melakukan perankingan paket keputusan dibutuhkan staf yang memiliki keahlian yang mungkin tidak dimiliki organisasi. ZBB berasumsi bahwa semua staf memiliki kemampuan untuk mengkalkulasi paket keputusan. Selain itu dalam perankingan muncul pertimbangan subyektif atau mungkin terdapat tekanan politik sehingga tidak obyektif lagi.
6. Memungkinkan munculnya kesan yang keliru bahwa semua paket keputusan harus masuk dalam anggaran.
7. Implementasi ZBB menimbulkan masalah keperilakuan dalam organisasi

G. PLANNING, PROGRAMMING, AND BUDGETING SYSTEM (PPBS)
PPBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori sistem yang berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumber daya berdasarkan analisis ekonomi. Sistem anggaran PPBS tidak mendasarkan pada struktur organisasi tradisional yang terdiri dari divisi-divisi, namun berdasarkan program, yaitu pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. PPBS adalah salah satu model penganggaran yang ditujukan untuk membantu manajemen pemerintah dalam membuat keputusan alokasi sumber daya secara lebih baik. Hal tersebut disebabkan sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas jumlahnya, sementara tuntutan masyarakat tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaaan tersebut pemerintah dihadapkan pada pilihan alternatif keputusan yang memberikan manfaat paling besar dalam pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan rerangka untuk membuat pilihan tersebut.


Proses Implementasi PPBS
Langkah-langkah implementasi PPBS meliputi:
1. Menentukan tujuan umum organisasi dan tujuan unit organisasi dengan jelas
2. Mengidentifikasi program-program dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
3. Mengevaluasi berbagai alternatif program dengan menghitung cost-benefit dari masing-masing program.
4. Pemilihan program yang memiliki manfaat besar dengan biaya yang kecil
5. Alokasi sumber daya ke masing-masing program yang disetujui.
PPBS mensyaratkan organisasi menyusun rencana jangka panjang untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui program-program. Kuncinya adalah bahwa program-program yang disusun harus terkait dengan tujuan organisasi dan tersebar ke seluruh bagian organisasi. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi struktur program dan melakukan analisis program. Struktur program merupakan rerangka untuk mengidentifikasi keterkaitan antara sumber daya yang dimiliki dengan aktivitas yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi, struktur program merupakan semacam kerangka bangunan dari desain sistem PPBS. Analisis program terkait dengan kegiatan menganalisis biaya dan manfaat dari masing-masing program sehingga dapat dilakukan pilihan. Untuk mendukung hal tersebut PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih agar dapat memonitor kemajuan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sistem pelaporan anggaran PPBS harus mampu melaporkan hasil (manfaat) program bukan sekedar jumlah pengeluaran yang telah dilakukan.

Karakteristik PPBS:
1. Berfokus pada tujuan dan aktivitas (program) untuk mencapai tujuan
2. Secara eksplisit menjelaskan implikasi terhadap tahun anggaran yang akan datang karena PPBS berorientasi pada masa depan
3. Mempertimbangkan semua biaya yang terjadi
4. Dilakukan analisis secara sistematik atas berbagai alternatif program, yang meliputi: (a) identifikasi tujuan, (b) identifikasi secara sistematik alternatif program untuk mencapai tujuan, (c) estimasi biaya total dari masing-masing alternatif program, dan (d) estimasi manfaat (hasil) yang ingin diperoleh dari masing-masing alternatif program.

Kelebihan PPBS
1. Memudahkan dalam pendelegasian tanggung jawab dari manajemen puncak ke manajemen menengah.
2. Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja
3. Memperbaiki kualitas pelayanan melalui pendekatan sadar biaya (cost-consciousness/cost awareness) dalam perencanaan program
4. Lintas departemen sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama antardepartemen
5. Menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian tujuan organisasi
6. PPBS menggunakan teori marginal utility, sehingga mendorong alokasi sumber daya secara optimal


Kelemahan PPBS
1. PPBS membutuhkan sistem informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya sistem pengukuran, dan staf yang memiliki kapabilitas tinggi
2. Implementasi PPBS membutuhkan biaya yang besar karena PPBS membutuhkan teknologi yang canggih
3. PPBS bagus secara teori, namun sulit untuk diimplementasikan
4. PPBS mengabaikan realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia yang kompleks
5. PPBS merupakan teknik anggaran yang statistically oriented. Penggunaan statistik terkadang kurang tajam untuk mengukur efektivitas program. Statististik hanya tepat untuk mengukur beberapa program tertentu saja.
6. Pengaplikasian PPBS menghadapi masalah teknis. Hal ini terkait dengan sifat progam atau kegiatan yang lintas departemen sehingga menyulitkan dalam melakukan alokasi biaya. Sementara itu sistem akuntansi dibuat berdasarkan departemen bukan program.


Masalah utama penggunaan ZBB dan PPBS
1. Bounded rationality, keterbatasan dalam menganalisis semua alternatif untuk melakukan aktivitas.
2. Kurangnya data untuk membandingkan semua alternatif, terutama untuk mengukur output.
3. Masalah ketidakpastian sumber daya, pola kebutuhan di masa depan, perubahan politik, dan ekonomi.
4. Pelaksanaan teknik tersebut menimbulkan beban pekerjaan yang sangat berat.
5. Kesulitan dalam menentukan tujuan dan perankingan program terutama ketika terdapat pertentangan kepentingan (conflict of interest).
6. Seringkali tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan program secara cepat dan tepat.
7. Terdapat hambatan birokrasi dan perlawanan politik yang besar untuk berubah (resistence to change).
8. Pelaksanaan teknik tersebut sering tidak sesuai dengan proses pengambilan keputusan politik. Politik berusaha membuat pelaksanaan lebih “technocratic” yang hal tersebut bisa mempengaruhi proses anggaran.
9. Pada akhirnya, pemerintah beroperasi dalam dunia yang tidak rasional.









Perbandingan anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS


Karakteristik
Anggaran Kinerja ZBB PPBS

1. Organisasi Unit kerja (agency) Unit keputusan Fungsional

2. Aspek klasifikasi Fungsi, program, dan elemen pengeluaran membentuk bagian yang integral dengan struktur anggaran Paket keputusan dan gabungan paket keputusan bersifat fleksibel dan independen dari struktur anggaran Fungsi dan program independen dengan struktur anggaran

3. Aspek analitis Menekankan hasil kinerja Menekankan pada hubungan keuangan dengan peningkatan kinerja dan perankingan paket keputusan Penerapan teknik kuantitatif dan pengevaluasian alternatif keputusan

4. Anggaran dan perencanaan Terpisah Terintegrasi Terintegrasi dalam satu siklus anggaran

5. Jangka waktu Tahunan Proyeksi lima tahunan Proyeksi lima tahunan

6. Aspek evaluasi Ukuran kinerja kuantitatif Menekankan pada kinerja dan pengukuran kinerja Menekankan pada sistem informasi

7. Manfaat yang diharapkan Peningkatan kinerja dan kesadaran biaya (cost consciousness) yang lebih tinggi Pelibatan yang lebih besar dari manajer bawah dalam proses anggaran dan pengukuran kinerja
Efisiensi alokasi anggaran







Contoh Anggaran Tradisional (Incremental/Line-Item Budget)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kab…
Tahun Anggaran 2005

No. Uraian Penerimaan APBD
2005 APBD
2004 No. Uraian Belanja APBD
2005 APBD
2004

A Sisa Lebih Perhitungan APBD Tahun Yg. Lalu A RUTIN
1. Belanja pegawai
B Pendapatan Asli Daerah 2. Belanja barang
1. Pajak Daerah 3. Belanja pemeliharan
2. Retribusi Daerah 4. Belanja perjalanan
3. Bagian Laba BUMD 5. Belanja lain-lain
4. Penerimaan Dinas-Dinas 6. Angsuran pinjaman/hutang dan bunga
5. Penerimaan Lain-lain 7. Belanja pensiun
8. Ganjaran, Subsidi, dan Sumbangan
C Pendapatan Berasal dari Pemberian Pemerintah dan/atau Inst. Lebih Tinggi 9. Pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain
1. Bagi Hasil Pajak 10. Pengeluaran yang tidak tersangka
2. Bagi Hasil Bukan Pajak
3. Dana Rutin Daerah B PEMBANGUNAN
4. Dana Pembangunan Daerah 1. Industri
5. Penerimaan Lainnya 2. Pertanian & Kehutanan
3. Sumber Daya Air & Irigasi
D Pendapatan Pembangunan 4. Tenaga Kerja
1. Pinjaman Pemda 5. Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi
2. Pinjaman BUMD 6. Transportasi
7. Pertambangan & Energi
………..
21. Bantuan Pemb. Daerah Bawahan





Contoh anggaran PPBS
Program Multitahunan dan Perencanaan Keuangan
Dari Tahun Anggaran 2002-2006 (dalam 000.000 rupiah)

Level Kategori Program TA 2000
aktual TA 2001
Anggaran berjalan TA 2002
Estimasi anggaran TA 2003
Estimasi program
…… TA 2006
Estimasi program Biaya Total
2002-6
1 2

I Keselamatan Masyarakat
A Penegakan hukum
B Pengendalian dan pencegahan kebakaran
C Keselamatan berlalu lintas
D Perlindungan dan pengendalian bencana
E dsb…
Total Program Area I

II Kesehatan
A Kesehatan fisik
B Kesehatan Mental
C Pencegahan dan pengendalian NAPZA
D Pencegahan penyakit menular
E dsb…
Total Program Area II

III Perawatan penduduk usia lanjut
A Perawatan rumah tinggal
B Perawatan harian
C Pemberian menu makanan sehat
D dsb…
Total Program Area III

Level 1: Jenis Program
Level 2: Kategori program







Contoh
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
DENGAN PENDEKATAN KINERJA
PROPINSI/KABUPATEN/KOTA

I PENDAPATAN Rp

1 Pendapatan Asli Daerah Rp
- Pajak Daerah Rp
- Retribusi Daerah Rp
- Bagian Laba dari BUMD Rp
- Bagian Laba dari Pengelolaan Kekayaan Rp
Daerah Yang Dipisahkan
- Lain-lain PAD Yang Sah Rp

2 Dana Perimbangan Rp
- Bagian Daerah Rp
- Dana Alokasi Umum Rp
- Dana Alokasi Khusus Rp

3 Lain-lain Pendapatan Yang Sah Rp

II BELANJA Rp

1 Belanja Administrasi Umum Rp
- Belanja Pegawai Rp
- Belanja Barang Rp
- Belanja Perjalanan Dinas Rp
- Belanja Pemeliharaan Rp
- Belanja Lain-lain Rp

2 Belanja Operasi, Pemeliharaan Rp
Sarana dan Prasarana Umum

3 Belanja Modal Rp
- Belanja Aparatur Rp
- Belanja Publik Rp

4 Belanja Transfer Rp

5 Belanja Tidak Terduga Rp

III SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (I - II) Rp

IV PEMBIAYAAN Rp

1 Sumber Penerimaan Daerah Rp
- Sisa Lebih Anggaran Tahun Lalu Rp
- Penerimaan Pinjaman dan Obligasi Rp
- Transfer dari Dana Cadangan Rp
- Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Dipisahkan Rp

2 Sumber Pengeluaran Daerah Rp
- Pembayaran Utang Pokok Yang Jatuh Tempo Rp
- Transfer ke Dana Cadangan Rp
- Penyertaan Modal Rp
- Sisa Lebih Anggaran Tahun Sekarang Rp

H. RANGKUMAN
Terdapat dua pendekatan dalam menyususn anggaran sektor publik, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan New Public Management. Anggaran tradisional memiliki ciri utama line-item dan incrementalism. Pendekatan NPM dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem tradisional. Anggaran dengan pendekatan NPM terdiri dari beberapa jenis, yaitu anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS. Anggaran dengan pendekatan NPM sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Perubahan dari sistem anggaran tradisional menuju sistem anggaran dengan pendekatan NPM merupakan bagian penting dari reformasi anggaran (budgeting reform). Reformasi anggaran sektor publik dilakukan untuk menjadikan anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik dan menekankan value for money. Beberapa jenis anggaran dengan pendekatan NPM, seperti ZBB, PPBS, dan Anggaran Kinerja perlu dikaji lebih mendalam sebelum diaplikasikan, karena pada masing-masing jenis anggaran tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Penerapan sistem anggaran juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan kesiapan teknologi yang dimiliki oleh pemerintah.

I. PERTANYAAN
1. Jelaskan latar belakang munculnya konsep New Public Management. Bahaslah pengaruh konsep tersebut terhadap reformasi anggaran sektor publik.
2. Bahaslah secara kritis konsep reinventing government. Apa kelebihan dan kelemahan konsep teresebut?
3. Berikan evaluasi Saudara tentang konsep anggaran ZBB, PPBS, dan Performance Budget. Bandingkan sistem anggaran yang digunakan oleh negara-negara di kawasan ASEAN dengan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika.
4. Untuk kasus di Indonesia, diskusikan apakah sistem anggaran sebaiknya dilakukan dengan cara memperbesar jumlah anggaran (budget maximizing) ataukah dengan cara memperbesar aparat pelaksana anggaran (labor/staff maximizing).

MANAJEMEN RISIKO Risiko kredit, mau diapakan?

Kolom Bisnis Indonesia: 1 OCT 2003
oleh irpa - Tanggal: 2003-10-02 07:38:44

MANAJEMEN RISIKO Risiko kredit, mau diapakan?
Oleh: Ojak P. Marbun
Pengamat perbankan & ketua Bidang Komunikasi IRPA

Risiko kredit adalah risiko yang sangat dominan dan mendominasi eksposur risiko pada setiap bank. Risiko finansial yang utama dan pertama ini sekaligus menjadi
Keuangan
Rabu, 01/10/2003

MANAJEMEN RISIKORisiko kredit, mau diapakan?

Risiko kredit adalah risiko yang sangat dominan dan mendominasi eksposur risiko pada setiap bank. Risiko finansial yang utama dan pertama ini sekaligus menjadi penghambat utama dalam pengembangan bisnis jika bank tidak andal dalam pengelolaan risiko kreditnya. Selain menjadi tolok ukur kinerja bank setiap waktu, risiko kredit juga menjadi pemicu utama terpuruknya bank melalui proses penggerusan modal akibat menumpuknya kredit macet. Kendati Baring Inc. hancur berantakan akibat risiko operasional yang amat sederhana yaitu kurang optimalnya segregasi kewenangan dan pelaksanaan fungsi terhadap Nick Leeson pada tahun 1995, tetapi risiko kredit tetap abadi menjadi penyebab utama kejatuhan bank. Karena dahsyatnya konsekuensi yang dipicu oleh risiko kredit, sejak tahun 1988, Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) meletakkan risiko kredit sebagai elemen yang sangat esensial dalam perhitungan risiko. Sebagai penyebut rasio capital adequacy ratio (CAR) atau kecukupan penyediaan modal minimum (KPMM), komponen aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) atau risk weigheted assets (RWA) menjadi komponen yang sangat sentral dan signifikan dalam perhitungan CAR atau KPMM. Tidak cuma BCBS, BI sengaja menempatkan risiko kredit dimaksud pada urutan pertama pada PBI No.5/8/PBI/2003, 19 Mei 2003, Bab II, pasal 4, ayat 1 a. PBI yang mengatur penerapan manajemen risiko bank mmum tersebut, nantinya akan menjadi lengkap dan konkret setelah aturan-aturan main lainnya direkatkan menjadi satu bagian yang terintegrasi seperti implementasi risiko pasar yang diramu lewat PBI No.5/12/PBI/2003, 17 Juli 2003 tentang kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar (market risk). PBI No.5/12/PBI/2003 Sungguhpun PBI yang disebut terakhir cukup telat diimplementasikan pada perbankan nasional, tetapi kesungguhan dan komitmen BI mempersiapkan perbankan Indonesia untuk mengakomodasi Basel-II semakin nyata. Namun beberapa hal dalam ketentuan tersebut perlu disorot antara lain: pertama, Bab I Ketentuan Umum pasal 2, ayat 1 tentang kewajiban pemenuhan KPMM 8%. Dengan berlakunya ketentuan ini secara implisit kemampuan perbankan nasional untuk penyaluran kredit menjadi lebih terbatas, karena sebagian bobot risiko beralih pada risiko pasar. Ini terjadi karena BI (kemungkinan) tetap menerapkan perhitungan risiko kredit berdasarkan ketentuan lama (Basel-I). Konsekuensinya, perbankan harus menambah modal untuk mempertahankan portofolionya. Kedua, metodologi perhitungan risiko. BI dengan matang telah menetapkan bahwa perbankan nasional mengakomodasi perhitungan risiko dengan Model Standar (Standard Method). Secara eksplisit masalah ini diatur pada bagian penjelasan halaman 2. Selain taktis, pengaturan ini akan meredam perselisihan dikalangan praktisi karena kealpaan acuan dimaksud selama ini. Selain itu, meskipun belum begitu sensitif terhadap risiko, tetapi BI telah membawa para praktisi manajemen risiko pada koridor persepsi yang relatif sama sehingga, paling tidak telah dapat membuat rencana aksi yang lebih konkrit. Kendatipun penerapan manajemen risiko sesuai penjelasan PBI No.5/12/PBI/2003 dilakukan secara bertahap seyogyanya perbankan nasional mendapatkan pengaturan yang kohesif. Artinya, selain risiko pasar untuk perhitungan kecukupan modal, juga mengakomodasi risiko kredit versi Basel-II agar implementasi CAR 8% nyekrup. Seperti dikemukakan pada uraian di atas -by system- dipaksa mengurangi eksposur risiko kredit. Hasilnya juga belum tentu optimal sebagai alat pengawasan dan Kebijakan dan Strategi Manajemen Bank Berbasis Risiko (MBBR). Mengapa? Risiko Kredit yang ditetapkan pada Basel-I ditetapkan pukul rata sebesar 100%. Dengan demikian, pinjaman yang berkualitas baik dan tidak baik sama saja bobot risikonya. Kelemahan regulasi ini telah mendorong sebagian bank melakukan sekuritisasi atas pinjaman berkualitas baik. Di samping itu, regulator kurang mendapatkan gambaran yang benar mengenai kualitas portofolio bank-bank dan Pengawasan Bank Berbasis Risiko (PBBR) yang menjadi alat BI untuk pengawasan kurang optimal. Lagipula, para praktisi bank juga tidak optimal pula memanfaatkan MBBR untuk penetapan Kebijakan dan Strategi bank. Program selanjutnya yang perlu dibangun adalah melakukan konversi pemeringkatan risiko yang ada pada bank-bank dan menetapkan acuan pembobotan risiko berdasarkan model standar yaitu 0%, 20%,50%,75% (jika mungkin),100%, 125% (jika mungkin) dan 150%. Aktivitas ini tidak sulit dilakukan karena hanya mengkonversi model Basel-I seperti kolektibilitas pinjaman yang ada sekarang (Lancar sampai Macet) dan menyempurnakannya. Kalaupun dalam Dokumen Konsultatif BCBS mensyaratkan bahwa pemeringkatan risiko harus melalui External Credit Assessment Institutions (ECAIs), BI dapat mengambil discretion authority untuk kemaslahatan manajemen risiko atau MBBR dimaksud. Oleh: Ojak P. Marbun
Pengamat perbankan & ketua Bidang Komunikasi IRPA


© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.
________________________________________

artikel ini dicetak dari IRPA
http://www.irpaweb.com

Alamat website artikel ini adalah:
http://www.irpaweb.com/article.php?sid=56

Daftar Peserta LK 2 Cabang Malang

Daftar Peserta LK 2 Cabang Malang

Nama : Ach. Khozin Cabang Pers. Probolinggo 0817 0392 7639
Nama : Angga Kurniawan Koms. MIPA UM Malang 0857 371 00 383 / (0341) 561 954
Nama : Agni Istighfar Koms. Hukum UB Malang 0856 377 1539
Nama : Agus Ahmadi Koms. MIPA UM Malang 0856 464 091 86
Nama : Ahmad Taufiq Koms. Peternakan UB Malang 0812 330 800 14
Nama : Ajir Wahyudi Koms. Teknik UM Malang 0852 355 11 205
Nama : Anis Nurhainis Cabang Pers. Probolinggo 0852 3271 3363
Nama : Arief Setyo Budi Cabang Sukoharjo 0856 471 77 490
Nama : Dimas Bayu Perdana Putra Koms. MIPA UM Malang Telp. : 0856 4959 5675 / 0817 9378 565
Nama : Dinul Hayat Koms. Jabal Tareq ITN Malang 081 334 1530 75
Nama : Eko Kurniawan Koms. Ekonomi UM Malang 085 645 721 027
Nama : Erina Dewi Cabang Yogyakarta 085 292 251 776/ (0341) 744 8146
Nama : Erlin Alfiah Cabang Pers. Probolinggo 0852 3050 2087
Nama : Farikhatul Musfiroh Cabang Semarang 081 326 180 208
Nama : Fauzhobihi Cabang Lubuk Linggau 0819 286 46 986
Nama : Ficky Fajrin Koms. Peternakan UB Malang 0856 30 81516
Nama : Galih Sasli A. Koms. Peternakan UB Malang 0856 4820 9991
Nama : Gigih Arif Saputra Cabang Surabaya 0856 461 67 465
Nama : Haris Rahman F. Koms. Peternakan UB Malang 0856 4964 0024
Nama : Haryanto Cabang Pers. Probolinggo 08133 60 21 613
Nama : Heri Eko Prasetyo Koms. Ekonomi UNMER Malang 0856 466 11 830
Nama : Herman Riyadi Koms. Ekonomi UNMER Malang 0818 038 98 608
Nama : Husain Makhdum Koms. FIA UB Malang 0856 4850 7143
Nama : Ihsan Fakhrudin Panawar Cabang Manado 0852 4030 1967
Nama : Ikhwan Lukman H. Cabang Pers. Probolinggo (0335) 763 4442
Nama : Janudir Rahman No. Telp. : 0856 486 44 763
Nama : Kafis Andari G. Koms. TP UB Malang 0856 498 450 47
Nama : Khafid Rizki Sulistyawan Cabang Yogyakarta 0817 541 3320
Nama : Khairunnisak Cabang Denpasar 0818 053 68 939
Nama : Listya Ningsih Cabang Lubuk Linggau 0878 980 355 83
Nama : Lusi Susanti Utusan : Cabang Pers. Probolinggo
Nama : Mahardika Guzana A. Cabang Denpasar 0856 3455 457
Nama : Mas ‘ udi Cabang Pers. Probolinggo 081 1314 57947
Nama : Miftahul Hasan Cabang Pers. Probolinggo 0852 6707 251
Nama : Mimin Wanasari Koms.TP UB Malang 0856 309 5703
Nama : Misbahudin Utusan : Cabang Pers. Probolinggo
Nama : Muhhammad Hotim Koms. MIPA UM Malang 0856 353 88 46 / (0341) 561 954
Nama : Munawir Amrosi Cabang Pers. Probolinggo 0852 3018 6050
Nama : M. Tri Krisnowohadi Cabang Surabaya (031) 720 752 74
Nama : M. Yudi Firdaus Cabang Surabaya 0856 463 444 08
Nama : Nursidah Cabang Semarang 081 329 205 326
Nama : Novi Varida Nurjannah Cabang Ponorogo 0852 59 767 000
Nama : Puji Sucia Sukmaningrum Cabang Surabaya (031) 398 6937 / 081 330 787 696
Nama : Ria Chasmi Arsa Koms. Hukum UB Malang 081 334 341 666
Nama : Roesdianto H Koms. Peternakan UB Malang 0856 496 916 30
Nama : Sekti Dewi M. Koms. Hukum UB Malang 0856 493 763 93
Nama : Sulhan Arifin Cabang Pers. Probolinggo 0852 366 96 214
Nama : Ubaidillah Koms. Ekonomi UNMER Malang 0856 499 64 884
Nama : Uswatun Kamilah Cabang Surabaya 0857 3031 2050
Nama : Wahyu Minarno Cabang Yogyakarta 081 392 881 323
Nama : Yudhistira Satria Pamungkas Cabang Surabaya 0856 552 497 33
Nama : Yulpiandi Cabang Pers. Probolinggo 0852 30 391 392

Total Quality Management

Failing to Control Quality
Kegagalan dalam mengontrol kualitas bisa disebabkan karena kegagalan internal dan eksternal, ini merupakan non-value added activity.

Kegagalan internal
Kegiatan ini terdeteksi sebelum barang sampai ke konsumen. Contoh-contoh aktivitas:
• Disposing of scrap
• Pengerjaan ulang
• Pengujian ulang
• Penundaan proses
Kegagalan internal merupakan beban yang paling banyak terutama dari hilangnya waktu processing. Dan inilah yang paling susah dalam menilainya karena berimbas pada penjualan di masa yang akan dating.

Kegagalan eksternal
Kegagalan yang terdeteksi setelah tersampaikan ke konsumen, salah satunya:
• Garansi
• Penempatan kembali
• Product liability statement
• Customer complaint resolution
• Restotasi atas reputasi
• Lost sales
Hal ini bisa saja merupakan beban perusahaan karena memberikan effect ke reputasi perusahaan. Cost atas aktivitas ini sangat besar. Argumen dari TQM bahwa setiap pengeluaran untuk aktivitas yang mampu mencegah kegagalan merupakan efektivitas biaya. Argumen ini sulit untuk diwujudkan karena karena peluang atas forgone sales sangat tinggi tetapi sulit dinilai objektivitasannya.

Penilaian atas Qualitas Biaya
Pensortiran singkat atas activity-cost data dengan menggunakan pengklasifikasian cost-of-quality menghasilkan penilaian qualitas.

Reporting cost of Qualitas
Peningkatan aktivitas pencegah seharusnya dapat meningkatkan nilai dan juga menurunkan atau mengeliminasi kebutuhan untukinspeksi, kegagalan internal, dan kegagalan eksternal.

Integritas dan Qualitas Perusahaan
Indikasi penilaian penting atas kesusksesan perusahaan:
• Profitabilitas
• Kualitas product
• Reputasi dan integritas perusahaan
Quality Award dan Certification
The International Organitation for Standar membuat ISO 9000, ini adalah international stanar untuk manajemen. Untuk mendapatkan sertifikasi perusahaan harus mendokumentasikan quality sistemnya dan lulus ujian dari pihak ketiga misal audit atas manufacturing dan customer services process.

Importance of Managing Time in a Competitive Environment
Organisasi yang sukses menyadari bahwa pada competitive market permintaan barang itu semakin berkurang:
• New produk dan services development time
• Customer response time
• Cycle time
Semua unit aktivitas utama bisnis memiliki waktu penilaian objektivitas . peningkatan dalam kecepatan merespon membutuhkan efisiensi dalam proses kerja dan hamper selalu membutuhkan efisiensi dalam proses kerja dan membutuhkan waktu peningkatan kualitas. Kualitas yang buruk membutuhkan inspeksi, penerjaan ulang, testing merupakan penyebab utama dari pemborosan waktu pengerjaan. Pendekatan manajemen just in time secara simultan mengelola kualitas dan waktu.

Waktu Pengembangan Produk dan Jasa Baru
Adalah lama waktu antara pertama kali memutuskan membuat produk baru dan waktu saat menjual ke konsumen.

Siklus waktu dan kecepatan merespon konsumen
Adalah waktu antara saat konsumen memesan barang/jasa dan menyampaikan barang/jasa ke konsumen. Semakin pendek siklus waktu yang ditempuh semakin kompetitive perusahaan itu.
Perbaikan pada kecepatan respon konsumen dapat terjadi dengan cara mengeliminasi value-added activity dan kualitas buruk pada proses produksi.

Cost of Time
Menambah kapasitas dan kemampuan tanpa kemapuan tanpa meningkatkan proses dan kualitas dapat menjadi tidak efisien sehingga mengurangi daya saing. Alternatif lain yang tidak bisa diabaikan karena kekosongan waktu adlah dengan menganalisis peluang.
Perusahaan manufajtur mengalokasikan biaya overhead pada tiap unit bisnis dan produk dengan menggunakan siklus waktu sebagai pemicu biaya meski pendekatan pengalokasia ini tidak akurat dalam mengukur penggunaan sumber daya atau biaya oportunity dari waktu yang terbuang percuma.

Manajemen Proses dan Efisiensi Produktivitas
Efisiensi proses, kemampuan untuk mentransform input sampai siap dengan biaya yang terkecil, tergantung juga pada kerja pegawai untu mencapai tujuan.
Throughput adalah jumlah barang dan jasa yang diproduksi dan disampaikan ke konsumen selama periode waktu penilaian dalam Dollar terms atau penilaian fisik.
Organisasi mengatur dua tipe proses:
1. proses produksi
yaitu berdampak langsung dalam produksi jasa/produk yang disediakan untuk konsumen luar.
2. bisnis proses, yaitu mendukung proses produksi.
Penilaian efisisensi atas proses produksi dan proses bisnis untuk menambah kualitas produk, yaitu:
• produktivity
• cycle-time
• throughput time ratio
siklus waktu yang pendek dan high throughput pssible hanya jika proses produktif dan bisnis bensr-bensr produktif. Proses yang produktif bisa didapat jika proses tersebut berkualitas tinggi.

Penilaian produktivity
Produktivity adalah outcome of process dibagi dengan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk proses tersebut.
Total factor productivity adalah nilai dari barang/jasa dibagi dengan total biaya untuk mrnghasilkan barang tsb.

Penilaian siklus waktu
Siklus waktu yang pendek artinya organisasi memberikan nilai yang lebih ke konsumen dengan biaya rendah, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kualitas yang tinggi dan proses yang produktif.
Siklus waktu rata-rata seharusnya temasuk rata-rata waktu yang dibutuhkan sampai selesai dan mendistriusikan seluruh unti barang dan unit terbuang yang harus dikerjakan ulang atau sisa-sisa karena kerusakan, dimana itu adlah non-value added activity.

Penilaian Throughput Efficiency
Throughput efisiensi adalah hubungan antara Throughput achieved dengan sumber daya yabg digunakan.
Throughput time ratio = value added time
Total processing time
Perusahaan yang efisien memiliki achieved Throughput time ratio lebih dari 50% dengan mengeliminasi penundaan dan kerusakan yang tidak diperlukan

Managing Proses Capacity
Proses capacity adalah penilaian terhadap kemampuan proses untuk mentransform sumber daya sampai menjadi barang atau jasa, biasanya dijadikan patokan tingkat pemrosesan input sampai menghasilkan output per time periode.

Penilaian kapasitas
Tiga penilaian yang mempemgaruhi perusahaan untuk mengontrol proses capacity:
1. theoretical capacity
tingkat maksimum proses yang memungkinkan untuk mentransform input menjadi output dimana keseluruhan proses dipakai dan tidak ada kapasitas yang terbuang.
2. practical capacity
seperti pada proses theoretical capacity namun dikurangi dengan adnya planned downtime untuk penjadwalan pemeliharaan dan pengembangan.
Kelebihan atau kapasitas yang tidak terpakai adlah jumlah practical capacity melebihi permintaan output dari proses tersebut.
3. kapasitas berlebih
mengundikasikan sumber daya yang terbuang; negative excess capacity mengindikasikan hilangnya output peluang.

Managing Quality + Productivity + Capacity = JIT
Just in time (JIT) adalah proses pembelian, pembuatan, dan pelepasa produk dan jasa ketika dibutuhkan. JIT bias mengurangi biaya pemeliharaan persediaan.
Biaya pemeliharaan persediaan adalah biaya atas penerimaan, handling, penyimpanan, dan asuransi atas persediaan.
Tanpa usaha yang sia-sia untuk mengoreksi kesalahan, JIT membutuhkan siklus waktu yang pendek. Untuk mengaplikasikan JIT tidak bisa jika aktivitasnya unreliable atau Sumber day aynag digunakan tidak sempurna.

JIT manufacturing
Perusahaan manufaktur juga bisa merasakan keuntungan dari pengaplikasian filosofi JIT untuk pengelolaan sumber daya fisik mereka.
Concern untuk mengeliminasi sisa dari non-value added activity dan kerusakan adlah solusi yang ditawarkan oleh manufakturing JIT.

Traditional ”push” Manufacturing
Traditional manufacturing dimulai dengan siklus manufaktur yaitu meramal jumlah order untuk satu periode waktu.
Berdasar ramalan atas produksi dan persediaan material, perusahaan memesan bahan baku dan berproduksi sesuai perkiraan awal.
Pendekatan ini untuk perusahaan manufaktur tidak efisien, karena:
1. dikendalikan oleh perkiraan penjualan, dimana hal tersebut merupakan guide yang tidak akurat untuk produksi.
2. manufaktur tradisional biasanya waktu dan jumlah bahan baku dan seluruh aktivitas produksi tidak tepat.
Perusahaan manufaktur bisa mengurangi motivasi untuk mengembangkan quality dan memotivasi untuk menggunakan kapasitas berlebih.

JIT ”pull” Manufacturing
Proses ini melalui pemesanan dari pelanggan diikuti dorongan untuk produksi.
Pendekatan JIT lebih fleksibel atas kebutuhan konsumen dan kebutuhan persediaan yang rendah dibanding metode tradisional –hanya sebanyak kebutuhan untuk memproses pesanan- JIT production tidak berlaku untuk design, implement, atau manage.

Role of Cost Management
Setelah melakukan benchmarking ke competitor yang lebih efisien bahwa organisasi yang tidak mengaplikasikan JIT biaya atas kelebihan persediaan dan biaya kualitas lebih besar dibanding dengan perusahaan yang mengaplikasikan JIT. Oleh karena itu perusahaan lebih consider untuk mengadopsi pendekatan JIT production.

JIT Sucsess Factors
1. commintment to quality
2. creation of flexible capacity or predictible orders
3. achievement of reliable supplier relation
4. development of smooth production flow
5. maintenance of a well-trained, motivated, flexible workforce.
6. achievement and improvement of short cycle and customer response times.