Sabtu, 28 Juni 2008

MANAJEMEN RISIKO Risiko kredit, mau diapakan?

Kolom Bisnis Indonesia: 1 OCT 2003
oleh irpa - Tanggal: 2003-10-02 07:38:44

MANAJEMEN RISIKO Risiko kredit, mau diapakan?
Oleh: Ojak P. Marbun
Pengamat perbankan & ketua Bidang Komunikasi IRPA

Risiko kredit adalah risiko yang sangat dominan dan mendominasi eksposur risiko pada setiap bank. Risiko finansial yang utama dan pertama ini sekaligus menjadi
Keuangan
Rabu, 01/10/2003

MANAJEMEN RISIKORisiko kredit, mau diapakan?

Risiko kredit adalah risiko yang sangat dominan dan mendominasi eksposur risiko pada setiap bank. Risiko finansial yang utama dan pertama ini sekaligus menjadi penghambat utama dalam pengembangan bisnis jika bank tidak andal dalam pengelolaan risiko kreditnya. Selain menjadi tolok ukur kinerja bank setiap waktu, risiko kredit juga menjadi pemicu utama terpuruknya bank melalui proses penggerusan modal akibat menumpuknya kredit macet. Kendati Baring Inc. hancur berantakan akibat risiko operasional yang amat sederhana yaitu kurang optimalnya segregasi kewenangan dan pelaksanaan fungsi terhadap Nick Leeson pada tahun 1995, tetapi risiko kredit tetap abadi menjadi penyebab utama kejatuhan bank. Karena dahsyatnya konsekuensi yang dipicu oleh risiko kredit, sejak tahun 1988, Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) meletakkan risiko kredit sebagai elemen yang sangat esensial dalam perhitungan risiko. Sebagai penyebut rasio capital adequacy ratio (CAR) atau kecukupan penyediaan modal minimum (KPMM), komponen aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) atau risk weigheted assets (RWA) menjadi komponen yang sangat sentral dan signifikan dalam perhitungan CAR atau KPMM. Tidak cuma BCBS, BI sengaja menempatkan risiko kredit dimaksud pada urutan pertama pada PBI No.5/8/PBI/2003, 19 Mei 2003, Bab II, pasal 4, ayat 1 a. PBI yang mengatur penerapan manajemen risiko bank mmum tersebut, nantinya akan menjadi lengkap dan konkret setelah aturan-aturan main lainnya direkatkan menjadi satu bagian yang terintegrasi seperti implementasi risiko pasar yang diramu lewat PBI No.5/12/PBI/2003, 17 Juli 2003 tentang kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bank umum dengan memperhitungkan risiko pasar (market risk). PBI No.5/12/PBI/2003 Sungguhpun PBI yang disebut terakhir cukup telat diimplementasikan pada perbankan nasional, tetapi kesungguhan dan komitmen BI mempersiapkan perbankan Indonesia untuk mengakomodasi Basel-II semakin nyata. Namun beberapa hal dalam ketentuan tersebut perlu disorot antara lain: pertama, Bab I Ketentuan Umum pasal 2, ayat 1 tentang kewajiban pemenuhan KPMM 8%. Dengan berlakunya ketentuan ini secara implisit kemampuan perbankan nasional untuk penyaluran kredit menjadi lebih terbatas, karena sebagian bobot risiko beralih pada risiko pasar. Ini terjadi karena BI (kemungkinan) tetap menerapkan perhitungan risiko kredit berdasarkan ketentuan lama (Basel-I). Konsekuensinya, perbankan harus menambah modal untuk mempertahankan portofolionya. Kedua, metodologi perhitungan risiko. BI dengan matang telah menetapkan bahwa perbankan nasional mengakomodasi perhitungan risiko dengan Model Standar (Standard Method). Secara eksplisit masalah ini diatur pada bagian penjelasan halaman 2. Selain taktis, pengaturan ini akan meredam perselisihan dikalangan praktisi karena kealpaan acuan dimaksud selama ini. Selain itu, meskipun belum begitu sensitif terhadap risiko, tetapi BI telah membawa para praktisi manajemen risiko pada koridor persepsi yang relatif sama sehingga, paling tidak telah dapat membuat rencana aksi yang lebih konkrit. Kendatipun penerapan manajemen risiko sesuai penjelasan PBI No.5/12/PBI/2003 dilakukan secara bertahap seyogyanya perbankan nasional mendapatkan pengaturan yang kohesif. Artinya, selain risiko pasar untuk perhitungan kecukupan modal, juga mengakomodasi risiko kredit versi Basel-II agar implementasi CAR 8% nyekrup. Seperti dikemukakan pada uraian di atas -by system- dipaksa mengurangi eksposur risiko kredit. Hasilnya juga belum tentu optimal sebagai alat pengawasan dan Kebijakan dan Strategi Manajemen Bank Berbasis Risiko (MBBR). Mengapa? Risiko Kredit yang ditetapkan pada Basel-I ditetapkan pukul rata sebesar 100%. Dengan demikian, pinjaman yang berkualitas baik dan tidak baik sama saja bobot risikonya. Kelemahan regulasi ini telah mendorong sebagian bank melakukan sekuritisasi atas pinjaman berkualitas baik. Di samping itu, regulator kurang mendapatkan gambaran yang benar mengenai kualitas portofolio bank-bank dan Pengawasan Bank Berbasis Risiko (PBBR) yang menjadi alat BI untuk pengawasan kurang optimal. Lagipula, para praktisi bank juga tidak optimal pula memanfaatkan MBBR untuk penetapan Kebijakan dan Strategi bank. Program selanjutnya yang perlu dibangun adalah melakukan konversi pemeringkatan risiko yang ada pada bank-bank dan menetapkan acuan pembobotan risiko berdasarkan model standar yaitu 0%, 20%,50%,75% (jika mungkin),100%, 125% (jika mungkin) dan 150%. Aktivitas ini tidak sulit dilakukan karena hanya mengkonversi model Basel-I seperti kolektibilitas pinjaman yang ada sekarang (Lancar sampai Macet) dan menyempurnakannya. Kalaupun dalam Dokumen Konsultatif BCBS mensyaratkan bahwa pemeringkatan risiko harus melalui External Credit Assessment Institutions (ECAIs), BI dapat mengambil discretion authority untuk kemaslahatan manajemen risiko atau MBBR dimaksud. Oleh: Ojak P. Marbun
Pengamat perbankan & ketua Bidang Komunikasi IRPA


© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.
________________________________________

artikel ini dicetak dari IRPA
http://www.irpaweb.com

Alamat website artikel ini adalah:
http://www.irpaweb.com/article.php?sid=56

Tidak ada komentar: